Transaksi jual beli dalam Islam diatur secara ketat untuk menjamin kehalalan dan keadilan. Salah satu topik yang kerap menjadi perdebatan adalah hukum jual beli darah. Apakah Islam memperbolehkan praktik ini? Artikel ini akan mengulas secara mendalam hukum jual beli darah berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, serta pandangan ulama.
Darah dalam Perspektif Islam
Darah dianggap sebagai zat yang najis dalam Islam. Hal ini tertuang dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 173:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah...” (QS. Al-Baqarah: 173).
Meski ayat ini menjelaskan keharaman mengonsumsi darah, para ulama juga menggunakan dasar ini untuk menganalisis hukum transaksi darah. Sebab, sesuatu yang najis dan diharamkan untuk dikonsumsi umumnya tidak boleh diperjualbelikan.
Hadis tentang Larangan Jual Beli Darah
Rasulullah SAW secara tegas melarang perdagangan zat-zat haram, termasuk darah. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli anggur, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari-Muslim).
Meski darah tidak disebutkan secara eksplisit, ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik memasukkan darah ke dalam kategori benda najis yang dilarang diperdagangkan. Mereka berargumen bahwa jika darah haram dikonsumsi, maka menjualnya juga diharamkan karena bertentangan dengan prinsip kebermanfaatan dan kesucian transaksi.
Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jual Beli Darah
Meski mayoritas ulama mengharamkan, terdapat perbedaan pandangan dalam kasus tertentu:
Darah untuk Keperluan Medis
Sebagian ulama kontemporer membolehkan penjualan darah jika digunakan untuk menyelamatkan nyawa, seperti transfusi darah. Mereka berpegang pada kaidah fiqih:
“Darurat membolehkan hal yang terlarang.”
Namun, syaratnya adalah tidak ada alternatif lain (seperti donor sukarela), dan transaksi harus dilakukan dengan pengawasan lembaga resmi untuk menghindari eksploitasi.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI dalam Fatwa No. 28 Tahun 1980 menyatakan bahwa donor darah hukumnya mubah (boleh) selama tidak ada unsur eksploitasi atau komersialisasi. Namun, menjual darah secara komersial tetap diharamkan.
Prinsip Dasar dalam Transaksi Islami
Islam menekankan transaksi yang adil, transparan, dan tidak mengandung unsur kezaliman. Jual beli darah rentan terhadap praktik eksploitasi, terutama terhadap masyarakat miskin yang mungkin menjual darah demi kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, Islam lebih mendorong budaya sedekah atau donor darah tanpa imbalan materi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim di dunia, Allah akan menghilangkan kesusahannya di akhirat.” (HR. Muslim).
Bagaimana dengan Donor Darah?
Donor darah yang dilakukan secara sukarela (tanpa imbalan) sangat dianjurkan dalam Islam karena termasuk dalam kategori menyelamatkan nyawa (QS. Al-Maidah: 32). Organisasi seperti Palang Merah Indonesia (PMI) mengedepankan prinsip ini dengan menggalakkan donor darah gratis.
Kesimpulan :
Berdasarkan dalil Al-Qur’an, Hadis, dan pandangan ulama, hukum jual beli darah dalam Islam diharamkan jika bertujuan komersial. Namun, donor darah untuk tujuan medis dan kemanusiaan diperbolehkan, bahkan dianjurkan, selama tidak melibatkan transaksi materi. Umat Islam disarankan untuk menghindari praktik jual beli darah dan beralih ke jalan sedekah yang lebih mulia di sisi Allah SWT.
Semoga artikel ini memberikan kejelasan tentang hukum jual beli darah dalam Islam. Mari kita jaga kemurnian transaksi sesuai syariat dan prioritaskan kepentingan sosial demi kemaslahatan bersama.
0 Response to "Hukum Jual Beli Darah dalam Islam: Kajian Menurut Syariat"
Komentar baru tidak diizinkan.