Tingkatan kepatuhan seorang hamba dalam agama kita ada tiga.
Islam, iman dan ihsan. Pembahasan tentang rukun islam dan rukun iman alhamdulillah sudah kita lewati. Saatnya kita
membahas tingkatan ketiga, yakni ihsan, dan ini adalah tingkatan yang tertinggi.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pernah
menjelaskan makna ihsan dalam haditsnya,
“أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ”.
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.
Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. HR. Bukhari dan Muslim.
Makna di atas biasa diistilahkan pula dengan murâqabah, atau merasa selalu diawasi Allah ta’ala. Maka kewajiban orang tua adalah mengajarkan
kepada anak tentang kedekatan dan pengawasan Allah terhadap hamba-Nya. Dia
melihat serta mengetahui segala gerak-gerik dan perbuatan kita, juga mendengar
semua ucapan kita. Bahkan Dia mengetahui segala isi hati kita.
Bacakan kepada mereka firman Allah ta’ala,
“أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا
هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ
ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ
يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ”.
Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan,
bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak
ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya.
Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang
kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti bersama mereka di
manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari
kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. QS. Al-Mujadilah (58): 7.
Adapun prakteknya, maka cara menanamkan perasaan merasa diawasi
tersebut kepada anak, antara lain adalah dengan sering-sering
mengingatkan hal tersebut. Saat kita memotivasi dia untuk beribadah
atau meninggalkan perilaku yang negatif, selalu berusahalah mengaitkannya
dengan pengawasan Allah ta’ala.
Contohnya, ketika ibu
melepas anaknya pergi ke masjid ia berpesan, “Shalatnya yang bagus ya nak!
Jangan bermain-main ketika shalat! Sungguh Allah Maha Melihat, sekalipun ibu
tidak melihat”.
Juga ketika ayah
melepas kepergian anaknya ke sekolah, jangan lupa ia mewanti-wanti, “Belajarlah
yang baik nak! Jangan berbuat nakal! Allah Maha Melihat segala gerak-gerikmu,
walaupun bapak atau ibu guru tidak melihatnya”.
Namun tentunya, supaya penanaman perasaan positif tersebut
efektif dan manjur,orang tua harus juga memiliki perasaan yang
serupa dalam dirinya.
Logikanya, bagaimana mungkin seseorang mengajarkan membaca,
sedangkan dia sendiri tidak bisa membaca?
Baca Juga Artikel : Kriteria Manusia Di benci Allah
* Diramu
ulang oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari Mencetak Generasi Rabbani karya
Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan al-Atsary (hal. 89-91) dengan berbagai
tambahan
0 Response to "Silsilah Fiqih Pendidikan Anak No 31: Anak dan Ihsan"