Sebagai hamba Allâh Ta’ala, semua manusia dalam kehidupan di
dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan
maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku
bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.
Allâh Ta’ala berfirman:
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs al-Anbiyâ’/21:35)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia),
terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat
siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa
yang berputus asa”.
Allâh Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya
yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan
kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada
agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia
dan akhirat.
Allâh Ta’ala berfirman:
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan
Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup
bagimu (Qs
al-Anfâl/8:24)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya
didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, dia tidak akan merasakan
kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup, sebagaimana binatang yang paling
hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi
seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam secara
lahir maupun batin”.
Allâh Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi
kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah
ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan
(balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Hûd/11:3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim
rahimahullâh mengatakan:
“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan
memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua
balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.
SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM MENGHADAPI MASALAH
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki
kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya
di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa.
Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala membuat dia yakin
bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah
yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta’ala akan memberikan
balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah
yang dinyatakan oleh Allâh Ta’ala dalam firman-Nya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali
denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan
memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(Qs at-Taghâbun/64:11)
(Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa
musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia
bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai
(perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka
Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan
musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam
hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya
dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah
yang menimpanya.
Meskipun Allâh Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah
menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang
beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan
pengharapan pahala dari Allâh Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan
tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi
seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim
rahimahullâh mengatakan:
“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang
beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan
pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki
maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua)
akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka
menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi
mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan
tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka
(tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya
yang artinya:
”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu).
Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan
(pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa
yang tidak mereka harapkan” (Qs an-Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita
kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan
pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta’ala.”
HIKMAH COBAAN
Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa
meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu
merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta’ala jadikan dalam
setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin
bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi
dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya
kepada Allâh Ta’ala.
Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga
akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka)
kepada Allâh Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap ini, Allâh Ta’ala akan semakin melipatgandakan
balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta’ala memperlakukan seorang hamba
sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya
dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya
kepada-Ku.”
Maknanya: Allâh Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai
dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada
hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka
hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya
kepada Allâh Ta’ala.
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
1. Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai
obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada
hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan
maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan
derajatnya di sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan
penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan
kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala.
2. Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai
sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin
kepada-Nya, karena Allâh Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah
kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang. Inilah makna sabda
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya
(membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika
dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan
baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah
kebaikan baginya.”
3. Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai
sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna
yang Allâh Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah
keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala
menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi,
serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau
seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka
tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan
terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Inilah di antara makna yang
diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
”Jadilah kamu di dunia
ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”
PENUTUP
Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam
Ibnul Qayyim rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah
wal jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana
seharusnya seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta’ala
takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“Dan Allâh Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah
melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah
rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari
kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi
dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta’ala), yang
berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh
beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang
paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta
paling tenang jiwanya.
Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup
(yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika
ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami)
prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami
(segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).
Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan
(nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”
0 Response to "Sikap Seorang Muslim Ketika Mendapat Musibah"