Dewasa ini, kita bisa
menyaksikan bersama ketika hukum ditegakkan di negeri ini. Ketika orang-orang
yang memiliki harta, kekuasaan, dan jabatan melakukan suatu pelanggaran hukum,
mereka pun diproses seperti warga negara biasa lainnya. Hal ini tentu patut
kita syukuri. Memang demikianlah kewajiban penguasa (pemerintah), yaitu
menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tidak membedakan antara pejabat atau
rakyat biasa. Kalau kita melihat sejarah, maka penegakkan hukum seperti ini
telah dicontohkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau menjadi
pemimpin negara.
Riba yang Pertama Kali Dihapus adalah Riba ‘Abbas bin
Abdul Muthollib
Praktik-praktik riba banyak
dilakukan oleh masyarakat musyrik jahiliyyah sampai datanglah firman Allah Ta’ala yang
mengharamkan praktek riba,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2]: 275).
Orang-orang yang terlanjur
bertransaksi dengan sistem riba (misalnya dia memberikan pinjaman dengan bunga
tertentu), maka wajib bagi orang tersebut untuk menggugurkan transaksi ribanya,
tidak boleh lagi mengambil riba. Hal ini ditegaskan oleh lanjutan ayat di atas
yaitu,
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan). Dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya” (QS. Al Baqarah [2]: 275).
Maksudnya, riba yang terlanjur
diambil sebelum turunnya larangan, maka itu untuknya (tidak perlu dikembalikan)
karena Allah Ta’ala mengampuni
apa yang telah lewat, namun setelah turunnya larangan ini dan seseorang masih
memiliki perjanjian riba, maka dia tidak boleh lagi mengambil harta riba
tersebut. Artinya, dia wajib menggugurkannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengumumkan ketika haji wada’
(haji terakhir nabi shalallahu ‘alaihi wasallam)
bahwa riba jahiliyyah telah dihapus (dilarang) sampai hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ
رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ
وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Sesungguhnya seluruh riba jahiliyyah telah dihapus. Bagi
kalian pokok harta kalian. Kalian tidak boleh mendzalimi dan tidak pula
didzalimi” (HR. Abu Dawud no. 3336. Dinilai shahih oleh Syaikh
Al-Albani).
Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka muncul pertanyaan pada
masyarakat Arab jahiliyyah waktu itu,”Apakah kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan praktik riba juga wajib
menggugurkan riba?” Hal ini karena di antara kerabat nabishallallahu ‘alaihi wa sallam juga ada yang melakukan praktik
(transaksi) riba. Pertanyaan masyarakat Arab jahiliyyah itu dijawab dengan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ
وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama
kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi sendiri,
pen.). Maka riba jahiliyyah dihapus
seluruhnya” (HR. Abu Dawud no. 1907. Dinilai shahih oleh Syaikh
Al-Albani).
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullah berkata,
”Demikianlah hukum. Demikianlah penguasa. Mereka pertama kali
menerapkan aturan pada kerabatnya sendiri.Berbeda dengan penguasa pada hari
ini, ketika kerabat para penguasa tersebut memiliki kekebalan hukum sehingga
dapat berbuat semaunya sendiri. Akan tetapi, pada masa rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam riba yang dihapuskan pertama kali
adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman beliau sendiri). Maka riba ‘Abbas
dihapus seluruhnya” (Syarh
Riyadhus Shalihin, 1/1907,
Maktabah Asy-Syamilah).
Lihatlah bagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan aturan haramnya
riba dimulai dari paman beliau sendiri, yaitu ‘Abbas bin Abdul Muthallib.
Jika Fatimah binti Muhammad Mencuri, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Sendiri yang Akan Memotong Tangannya
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
menceritakan,
أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ
شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ
يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا:
وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ
فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ
قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy
mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan)
mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada
yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun
berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam (untuk meringankan
atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan
dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan
berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara
mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang
mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum
atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri,
aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no.
1688).
Ketika menjelaskan hadits ini,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahberkata,
”Inilah keadilan”. Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar
mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri
–dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani
Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsendiri yang akan
memotong tangannya.”
Kemudian Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak
pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka
tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya,
kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).
Selesai disusun di malam hari, Masjid Nasuha ISR Rotterdam, 15 Shafar 1436Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Sumber: Muslim.Or.Id
0 Response to "Penegakkan Hukum di Masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam"