Di hari Jum’at ini, ada baiknya kita menengok kembali syahadatain kita. Syahadatainartinya dua kalimat syahadat. Pasti kita sudah hafal dengan dua kalimat ini. Syahadatain ini sangat istimewa di dalam Islam. Kita membacanya minimal sekali dalam setiap shalat. Selain dalam shalat, syahadatain dikumandangkan di seluruh muka bumi dalam bentuk adzan atau iqamat.
Dahulu pernah ada perdebatan mengenai metode cara memanggil
orang untuk shalat. Ada usulan agar menggunakan terompet, meniru cara umat
Yahudi pada masa itu. Ada juga usulan agar menggunakan loncen seperti cara umat
Nasrani.
Rasulullah s.a.w kemudian mensyariatkan adzan dan iqamat
sebagaimana yang kita kenal hari ini. Demikianlah umat Islam dilatih hingga
terbiasa untuk merespon kalimat-kalimat tauhid, termasuk syahadatain.
Dengan demikian, syahadatain seharusnya menjadi kalimat yang
sangat dekat dengan hati kita, jika kita memang beriman.
Kalimat syahadat yang pertama adalah kesaksian tentang
satu-satunya Ilah, yaitu Allah S.W.T. Adapun kalimat kedua adalah kesaksian
tentang status Muhammad s.a.w sebagai utusan-Nya. Kedua kalimat ini tak bisa
dipahami secara terpisah, karena keduanya adalah ‘satu paket’. Menyatakan bahwa
Allah S.W.T adalah satu-satunya Ilah bagi kita menunjukkan penyerahan diri yang
total. Perlu diingat, penyerahan diri yang dimaksud bukanlah sikap pasrah yang
pasif. Sebab, berserah diri kepada Allah S.W.T adalah sama dengan kesediaan
untuk menjalankan perintah-perintah-Nya.
Untuk membantu manusia memahami tugas-tugasnya sebagai hamba,
Allah pun mengutus para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul ini penting sekali,
karena tanpa mereka kita tak mungkin memahami agama. Dalam Al-Qur’an ditegaskan
bahwa Allah memang sengaja mengutus para Nabi dari golongan manusia, sebab
hanya manusialah yang bisa mengajari manusia lainnya secara sempurna. Dalam hal
mengendalikan hawa nafsu, misalnya, malaikat tak bisa mengajari manusia dengan
sempurna. Sebab, malaikat itu makhluk yang tidak punya hawa nafsu untuk durhaka
kepada Allah. Mereka tidak bisa memberi contoh dalam hal ini. Malaikat juga
tidak bisa mengajari manusia caranya menahan amarah, mengobati hati yang sedih,
dll.
Dalam proses turunnya wahyu, Malaikat Jibril hanya mengajarkan
bacaan-bacaan. Adapun pemahamannya langsung dari Allah. Itulah sebabnya ketika
wahyu turun, seolah-olah pemahaman itu langsung ditanamkan dalam benak
Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu, kesaksian tentang status Muhammad s.a.w
sebagai Rasul sangatlah penting karena beliau adalah acuan kita.
Baca Juga Artikel Bertobatlah Sebelum Anda Meminta Kepada Allah
Para sahabat menerima wahyu yang langsung disampaikan oleh
Rasulullah s.a.w, tapi adakalanya mereka salah paham. Misalnya, ada yang puasa
setiap hari di luar Ramadhan, shalat sepanjang malam, bertekad tidak menikah,
dll. Rasulullah s.a.w kemudian menegurnya, karena hal-hal tersebut dipandang
berlebihan dalam agama.
Inilah peran sentral para Nabi dan Rasul, karena mereka menjadi
teladan bagi umatnya. Rasulullah s.a.w juga bertugas mengawasi para sahabatnya
agar tidak salah dalam mengamalkan ajaran Islam. Jika tidak mencontoh
Rasulullah s.a.w, maka jangan mengaku-ngaku sebagai umatnya. Dan karena
Rasulullah s.a.w adalah utusan Allah, maka ketidakpatuhan padanya adalah
pembangkangan pada Allah.
Kaum orientalis dahulu biasa menyebut Islam dengan sebutan “Mohammedanism.”
Ini bersumber dari kesalahpahaman. Lantaran kita mengikuti beliau, kita
disangka menyembah beliau. Padahal, kepatuhan kita pada beliau adalah
konsekuensi dari penyerahan diri kepada Allah. Penyerahan diri (kepada Allah)
yang benar adalah yang mengikuti keteladanan Rasulullah s.a.w. Mengurangi
syariat yang beliau ajarkan adalah kecurangan, dan menambahkannya adalah
berlebihan.
Allah S.W.T menciptakan mekanisme “ma’shum” untuk menghilangkan
keraguan terhadap Rasulullah s.a.w. Mekanisme ini menjaga Rasulullah s.a.w dari
segala kesalahan. Ini bukan berarti beliau tak pernah salah. Namun jika beliau
keliru, langsung dikoreksi oleh Allah (lihat Qs. ‘Abasa). Koreksi-koreksi yang
dilakukan langsung oleh Allah ini justru membuktikan bahwa Rasulullah s.a.w
memang dijaga dari kesalahan.
Dengan demikian, umat Islam meyakini bahwa ajaran beliau
pastilah benar, meskipun kita belum paham hikmah dan tujuannya. Hikmah lainnya,
kita pun dapat belajar cara mengoreksi kesalahan sendiri dengan meneladani
Rasulullah s.a.w.
Dengan kedalaman makna yang demikian, kita dapat memahami
mengapa syahadatainmenjadi syarat bagi keislaman seseorang. Seorang
muallaf boleh belajar shalat secara bertahap, pelan-pelan belajar shaum, tapi syahadatain-nya
harus sempurna. Sebab,syahadatain inilah yang akan membedakan
seorang Muslim dengan yang lainnya.
Tentu saja, syahadatain yang dimaksud di sini
bukanlah sekedar ucapan di bibir, alias basa-basi. Syahadatain adalah
ikrar komitmen kita terhadap Allah. Ibadah bisa disempurnakan seiring waktu,
tapi komitmen kita harus ada sejak awal. Dari sini, kita bisa membedakan antara
Muslim yang saleh, Muslim yang jahil, orang kafir yang baik, dan orang kafir
yang jahat.
Islam menetapkan ukuran pembeda manusia, yaitu ketaqwaannya.
Jadi, derajat kemuliaan setiap manusia tidak sama di hadapan Allah. Adapun
level ketaqwaan diukur dari kehati-hatiannya. Orang bertaqwa bukanlah orang
yang tidak pernah berbuat salah. Rasulullah s.a.w pun pernah salah, namun
setiap kesalahannya selalu dikoreksi dengan sempurna. Itulah taqwa. Beliau juga
senantiasa berhati-hati agar tidak melanggar aturan Allah. Ini juga bagian dari
sifat taqwa.
Karena itu kita bisa membedakan antara Muslim yang saleh dan
yang jahil. Yang saleh adalah yang berhati-hati, yang jahil adalah yang cuek.
Tahu dan mengakui kewajiban shalat, tapi tidak dilaksanakan, itulah contoh
perilaku Muslim yang jahil. Muslim yang baik tidak akan dengan sengaja
melanggar perintah Allah. Kalau sesekali khilaf, dia langsung
taubat.
Adapun orang kafir adalah yang tidak memiliki komitmen syahadatain.
Mereka tidak tunduk pada Allah dan tidak mencontoh Rasulullah s.a.w. Orang
kafir ada yang baik dan yang jahat. Yang baik adalah yang bisa bergaul dengan
baik bersama kita, sesuai norma-norma yang wajar. Adapun orang kafir yang jahat
adalah yang mengganggu dan memerangi umat Muslim. Yang ini harus dilawan.
Sekarang muncul pertanyaan: apakah orang kafir yang baik bukan
main itu takkan dapat pahala? Sebaliknya, apakah Muslim yang jahil luar biasa
itu akan tetap dianggap beriman? Kita dapat menggunakan ilustrasi seorang buruh
pabrik yang sangat rajin, cermat kerjanya, dan jujur. Pada akhir bulan, hatinya
berbunga-bunga akan menerima upah dari kerja kerasnya. Apa dinyana, ia malah
dimarahi oleh staf HRD sebab ternyata ia bukan pegawai resmi di pabrik itu.
Sebaik-baiknya manusia, jika ia tidak berkomitmen menjadi hamba
Allah, maka takkan dapat pahala dari Allah. Sederhananya: jika beramal bukan
karena Allah, mengapa minta balasan dari Allah? Ini adalah bukti kasih sayang
Allah. Yang Allah minta hanyalah pengakuan dari kita sebagai hamba-Nya. Apakah
ini terlalu berat? Untuk segala kenikmatan yang kita peroleh, Allah hanya
meminta pengakuan kita sebagai hamba-Nya.
Penyembah berhala seharusnya meminta balasan dari
berhala-berhalanya, bukan dari Allah. Ini sesuai dengan logika. Sebaliknya,
hamba Allah yang jahil, selama ia masih mengakui otoritas Allah, maka ia bisa
mendapat pahala dari Allah. Namun, sudah barang tentu, karena kejahilannya,
bisa jadi dosanya lebih banyak daripada pahalanya.
Di antara yang beriman dan yang kafir adalah orang-orang
munafiq. Mereka mengaku beriman, padahal tidak. Mereka mengaku sebagai umat
Muhammad s.a.w, namun syariatnya diabaikan. Mereka mengaku beriman pada
Al-Qur’an, tapi hendak merevisinya. Mereka mengaku Muslim namun tidak tunduk
patuh pada aturan agama. Mereka mengaku tunduk patuh namun bangga meninggalkan
shalat Jum’at, bahkan mengumumkannya. Mereka mengaku beragama namun hendak
mencampuradukkan kesalehan dan kemaksiatan.
Semoga pemahaman kita terhadap syahadatain semakin
mendalam, agar kita tidak menjadi Muslim yang jahil, munafiq, atau kafir.
0 Response to "Memahami Kata 2 Kalimat Syahadat"