Kali
ini saya akan membahas masalah yang paling penting dalam Islam, yaitu aqidah.
Pembahasannya sedikit ‘menyebar’ dan, seperti biasa, out of the box. Yang penting gak
out of Islam (keluar dari Islam). Aqidah, secara sederhana,
dapat dipahami sebagai hal paling mendasar dalam keislaman kita. Jika aqidah
seseorang sudah menyimpang, maka hal-hal lainnya pun akan menyimpang. Aqidah
Islam menghendaki seseorang untuk hanya menjadikan Allah sebagai tumpuan
hidupnya. Seorang Muslim, misalnya, tidak dibenarkan untuk mengandalkan jimat,
apapun pembenarannya. Orang yang masih menggunakan jimat merasa terlindungi
oleh jimatnya. Semestinya ia berlindung pada Allah. Tentu ini tidak berarti
kita boleh berbuat sembrono saja, mentang-mentang merasa dilindungi Allah.
Rasionalitas itu perlu. Rasulullah s.a.w pun berperang dengan baju besi.
Perlindungan itu perlu, tapi yang rasional. Jimat, dan segala hal seputar
perdukunan, tidak ada yang rasional. Semuanya melanggar aqidah Islam.
Di
zaman jahiliyyah dahulu, orang Arab biasa berkunjung ke dukun atau ahli nujum
untuk meramal nasib. Apa bedanya dengan orang zaman sekarang yang tiap bulan
baca ramalan zodiak, tiap tahun baca ramalan shio? Orang-orang jahil yang minta
ramalan ke ahli nujum tentu saja hidupnya tidak produktif. Namanya juga jahil (bodoh). Sebab, segala
keputusannya dibuat dengan cara yang tidak rasional. Bukan dengan kalkulasi,
tapi dengan untung-untungan. Setiap ada masalah yang sedikit pelik saja, mereka
lari ke ramalan. Caranya bermacam-macam. Ada yang membaca posisi bintang, ada
yang membaca isi perut hewan. Keputusan bisnis yang penting pun bisa diambil
‘karena posisi bintang begini dan begitu’. Sama saja dengan orang yang berbuat
begini dan begitu hanya karena ramalan zodiak mengatakan begini dan begitu.
Atau, kalau ramalannya kurang baik, mereka urungkan niat. Tanpa alasan yang
rasional.
Kita
perlu mencatat bahwa penyimpangan aqidah manusia dari masa ke masa pada
hakikatnya sama saja. Soal ramal-meramal itu tidak terjadi di Arab Jahiliyyah
saja. Di Persia, India, Yunani, semua ada. Di abad ke-21 ini pun, kejahilan yang
sama masih kita lihat dimana-mana. Di tiap kampung ada saja dukun yang mengaku
bisa menawarkan kekayaan. Anehnya, tidak semua dukun kaya. Tapi kejahilan tidak
didominasi oleh orang-orang dusun atau miskin saja. Orang-orang kaya pun banyak
yang sama jahilnya. Artis-artis yang sangat terkenal dan sangat kaya, sayangnya
tidak sangat pintar. Banyak yang mengandalkan dukun.
Pengguna
smartphone pun tidak smart-smart amat.
Banyak beredar ‘broadcast kaleng’ sampai sekarang. Ada saja pesan “Teruskan
pesan ini, kalau tidak hidup anda akan mengalami...” dan seterusnya”. Ada saja
yang percaya. Saya, Alhamdulillaah, selalu mengabaikan pesan kaleng. Tak
terjadi apa-apa juga tuh! Waktu kecil, saya juga pernah berenang di Pelabuhan
Ratu dengan celana hijau. Alhamdulillaah, aman terkendali. Kadang-kadang pesan
kaleng itu dibubuhi kalimat-kalimat tahlil, takbir, tahmid dan tasbih supaya
terkesan ‘Islami’. Kalaupun isinya baik, tapi pemikiran di baliknya itu yang
menyesatkan. Musibah terjadi bukan karena kita tidak melanjutkan pesan, tapi
musibah terjadi jika Allah menurunkannya. Dengan melanjutkan pesan kaleng, maka
kita sesungguhnya telah melecehkan Allah s.w.t Seolah-olah, Allah
‘dikendalikan’ oleh sebuah pesan. Allah seperti robot yang bergerak otomatis.
Kalau kita lanjutkan pesannya, otomatis Allah begini, kalau tidak kita
lanjutkan, otomatis Allah begitu. Apa iya begitu?
Do’a
yang baik dan shahih pun bisa jadi dimaknai dengan cara yang salah oleh
orang-orangjahil (bodoh).
Baca ini dan itu, bukan berarti otomatis akan terjadi ini dan itu. Allah bukan
robot, bukan pula pelayanmu! Jika berdoa, memohonlah dengan serius. Ketahuilah
benar-benar bahwa segala keputusan ada di tangan Allah. Sekedar membaca lafadz
ini dan itu, belum tentu keinginannya dikabulkan. Jangan merendahkan Allah.
Ini
sisi lain yang jarang dibahas. Banyak orang ‘mengukur’ agama dari
parameter-parameter duniawi. Misalnya, orang yang pergi ke dukun, dalam hatinya
mencari-cari pembenaran berdasarkan ukuran duniawi. Dia bilang “Kalau caranya
sesat, tapi kok buktinya berhasil, nih?” Itulah sihir! Kata siapa sihir tidak
mungkin berhasil? Dulu, Harut dan Marut menjelaskan bahayanya sihir. Dan memang
sihir itu bisa berhasil. Sihir adalah cobaan bagi manusia. Harut dan Marut
sudah menegaskannya. Tentang masalah ini, bisa dibaca di QS. al-Baqarah [2]:
102. Bunyinya sebagai berikut:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu jangnalah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah[2]: 102)
Jadi,
kalau dikatakan bahwa dukun dan jimat itu bisa berhasil, ya memang bisa. Tapi
melanggar aqidah.
Kita
pun harus meluruskan cara pandang kita terhadap Allah. Allah tidak diukur dari
kepentingan duniawi kita. Jika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, apakah
itu artinya Allah ridha? Belum tentu. Sebaliknya, jika kita tidak dapatkan apa
yang kita inginkan, belum tentu karena Allah tidak ridha. Pertama, kita harus
ingat bahwa Allah SELALU tahu yang terbaik bagi kita. Jika kita gagal, mungkin
karena Allah menghendaki yang lebih baik. Atau memang yang kita inginkan itu
tidak baik. Seringkali kita mengira apa yang kita inginkan itu baik, padahal
sebenarnya tidak baik untuk kita. Kedua, Allah-lah pembuat keputusan akhirnya,
bukan kita. Bisa jadi kita merasa berhak untuk berhasil, padahal ikhtiarnya
masih kurang. Bisa jadi kita terlalu sibuk dengan ikhtiar kita sehingga merasa
pasti sukses, kemudian lupa meminta kepada Allah. Ketiga, kita harus ingat
bahwa keberhasilan dan kegagalan sama-sama ujian dari Allah. Ada orang yang
sedang diuji dengan kesuksesan bertubi-tubi. Ketika sudah sukses, dia pun lupa
sama Allah. Itu sering banget terjadi! Ada juga orang yang diuji dengan
kesusahan bertubi-tubi. Mereka harus banyak-banyak bersabar dan minta petunjuk
pada Allah. Bisa saja orang tenggelam dalam kekayaan duniawi, tapi di sisi
Allah ia gagal dalam ujian kesuksesan. Ada juga orang yang secara zhahir
kelihatannya hidupnya susah, tapi di sisi Allah ia sukses dalam ujian
kemiskinan. Yang lain juga ada. Ada yang kaya tapi sukses bersyukur, ada juga
yang miskin tapi tidak sukses bersabar.
Jadi,
dalam Islam, tidak pernah ada kepastian dong? Justru itulah kelebihan Islam!
Dalam agama Kristen, asal percaya pada penyaliban, pasti selamat. Dalam Islam,
tak ada yang pasti selamat. Para Nabi dan Rasul saja memohon ampun kepada
Allah, apalagi kita dong. Ada sepuluh sahabat Nabi s.a.w yang dijamin masuk
surga, tapi pipi mereka tetap basah karena menangisi dosa-dosa. Ini karena umat
Muslim diajarkan bahwa sesungguhnya manusia tidak bisa masuk surga hanya dengan
andalkan pahala saja. Manusia sering khilaf dan melampaui batas. Kita tidak
bisa hitung dosa dan pahala kita sendiri. Kita tidak bisa benar-benar yakin
apakah dosa kita sudah terhapus atau tidak. Karenanya, kita memohon terus
kepada Allah. Kita tidak pernah benar-benar yakin akan masuk surga, dan
karenanya, kita terus menjaga diri kita.
Sekarang,
dari aqidah yang lurus, muncullah pribadi-pribadi yang unggul. Ini perlu jadi
catatan tersendiri, karena pembangunan umat berawal dari aqidah. Tapi tidak
berhenti disana. Shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, kalau berhenti di
situ saja, tidak cukup untuk melahirkan generasi unggul. Jika kita menengok
kembali ke uraian sebelumnya, kita akan melihat bahwa aqidah Islam mengajarkan
banyak hal penting. Di antaranya, aqidah Islam mengajarkan cara hidup yang
rasional dan produktif. Pikirkan baik-baik, kemudian berikhtiar. Jangan
risaukan ramalan, kerja keras saja. Bukankah itu lebih produktif? Jika menemui
rintangan, evaluasi baik-baik. Bukan karena sial, tapi mungkin ada hal yang
kita lalaikan. Produktif kan?
Selain
rasional, mereka yang aqidah-nya lurus pun pasti memiliki jiwa yang tangguh.
Kalau gagal, mereka tidak menangisi nasib. Istighfar, evaluasi, bismillaah,
terus coba lagi. Maju terus pantang mundur! Selama masih bersama Allah, mereka
selalu punya harapan. Mereka hidup karena Allah, bukan karena yang lain. Uang,
fasilitas, dan sebagainya itu masalah turunan.
Banyak
orang mengenang ‘Abdurrahman ibn ‘Auf r.a sebagai orang kaya. Menurut saya,
modal terpentingnya adalah mental dan ilmu. Ia saudagar di Mekkah, tapi dia
tinggalkan hartanya demi hijrah. Perlu mental yang besar untuk melakukannya.
Sampai di Madinah, ia tidak meminta-minta. Ia pergi ke pasar dan mulai
berdagang. Tidak butuh waktu lama, dia pun sukses dan jadi saudagar lagi.
Ilmunya adalah aset utamanya. Jangan mimpi bisa sukses berbisnis kalau kerjanya
mengeluh, modal kurang lah, gak ada yang bantu lah.
Orang
yang aqidah-nya benar semestinya bermental tangguh dan haus ilmu. Orang yang
demikian, insya Allah, gak akan jauh dari sukses, di bidang apa pun yang ia
pilih. Kita juga perlu memahami bahwa aqidah yang lurus telah diajarkan sejak
zaman Nabi s.a.w. Akan tetapi, puncak kejayaan peradaban Islam baru dinikmati
berabad-abad sesudahnya. Saat itu, umat Muslim menguasai sains. Mereka sudah
jauh meninggalkan gaya hidup jahiliyyah. Kalau percaya ramalan, hidup ya
begitu-begitu saja. Peradabannya tak jauh dari unta, kurma, perang antar
kabilah, dan sebagainya. Jika aqidah-nya lurus, hidup karena Allah, maka
pemikirannya meluas kemana-mana. Mencari ilmu jadi asyik! Tokoh-tokoh seperti al-Biruni
yang mengkaji pergerakan bintang, tidak lepas dari aqidah-nya yang lurus.
Demikian juga tokoh-tokoh seperti al-Khawarizmi, al-Farabi dan seterusnya.
Kalau aqidah kita lurus, pasti hidup jadi maju.
Ini
pun perlu jadi pemikiran kita bersama. Jika aqidah kita benar-benar lurus,
semestinya kita bisa mencetak cendekiawan-cendekiawan baru. Jika aqidah kita
lurus, semestinya kita bisa menciptakan generasi yang unggul yang tidak
membuang-buang waktu dengan hal-hal tak bermanfaat. Jika aqidah kita lurus, sepantasnya
kita tidak suka mengeluh, pandai memanfaatkan apa yang ada. Jika aqidah kita
lurus, seharusnya hidup kita efektif dan produktif. Jangan-jangan, selama ini
kita terlanjur yakin bahwa aqidah kita sudah lurus, padahal masih banyak yang
harus dibenahi.
Saya
akan akhiri dengan sebuah penyangkalan: yang menulis artikel ini pun masih
mewaspadai aqidah-nya sendiri. Saya tidak lebih baik daripada antum. Semoga kita diberi
petunjuk-Nya untuk terus membenahi masalah aqidah ini. Aamiin yaa Rabbal
‘aalamiin...
0 Response to "Meluruskan Aqidah"