Beberapa waktu yang lalu, kami membaca sebuah kisah yang ditulis
salah seorang sahabat kami (muslimah) yang sedang belajar di kota Duisburg, Jerman.
Beliau menceritakan kisahnya ketika bertemu dengan salah seorang gadis remaja
di Jerman selama bulan Ramadhan kemarin. Kisah yang membuat hati ini merinding
karena gadis Jerman muallaf tersebut telah mengajarkan kepada kita bagaimanakah
seharusnya bersikap dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Atas ijin sahabat
kami tersebut, kami tulis ulang kisah ini dengan beberapa penyesuaian ejaan dan
tanda baca tanpa mengubah makna. Selanjutnya, kami membahas beberapa faidah
yang bisa kita ambil dari kisah tersebut.
Kisah
Makam Seukuran Ubin dan Seorang Gadis ABG Mualaf di Jerman
Beberapa waktu yang lalu aku melewati pemakaman orang Jerman.
Terlihat seperti taman bunga, dengan deretan bunga warna-warni kecuali ada
nisan menyembul di sela-selanya. Tampaknya kebiasaan orang Jerman menanam bunga
di atas makam. Kalau tidak langsung ditanam di atas tanah, kadang pot-pot bunga
diletakkan di atasnya. Tapi bukan ini yang aneh.
Setelah melewati komplek pemakaman penuh bunga, aku melewati
komplek pemakaman berbaris dan berderet yang masing-masing besarnya hanya
seukuran ubin. Membuatku berpikir lama. Makam apakah ini? Mengapa kecil sekali?
Makam binatangkah? Maklum, orang Jerman ini mencintai anjing sebagaimana
mencintai anak.
Ternyata makam kecil ini adalah makam abu. Makam manusia yang
dibakar dan abunya dikubur. Saking begitu atheisnya sebagian besar orang
Jerman, mereka tidak percaya dengan kematian. Tidak pula percaya dengan
kehidupan setelah kematian. Harga tanah untuk pemakaman sangat mahal dan biaya
perawatan dan sewanya per tahun juga sangat mahal. Jadi, tidak jarang orang
Jerman -sekalipun kaya- karena berpikir terlalu ‘realistis’, tidak sedikit pun
takut kematian dan tidak ingin memberatkan orang yang masih hidup, mereka
berwasiat dibakar saja. Kadang kalau ingin anonim atau tidak ingin memberatkan
lagi, abunya diterbangkan saja di udara. Dan jika masih ingin dikenang tapi
dengan sewa tanah murah cukup menyewa tanah pemakaman seukuran ubin. Dan itulah
deretan makam yang kulihat saat itu.
Selanjutnya, aku melompat ke kisah pertemuanku dengan seorang
muslimah Jerman (mualaf) yang masih muda. Dia masih SMU dan sebagaimana
kebiasaan umumnya remaja Jerman saat puber, mereka mulai memisahkan diri
tinggal dari ortunya. Biasanya mereka akan tinggal bersama pacarnya di apartemen.
Dan muslimah mualaf ini pun mempunyai masa lalu seperti itu. Hingga dia memeluk
Islam secara diam-diam, dan mencari Islam lewat internet dan kini dia tinggal
seorang diri. Kadang sepekan sekali dia mengunjungi orang tuanya. Tetapi jika
hendak memasuki rumah ortunya, dia akan tengok kanan kiri dulu hingga tidak ada
orang, lalu di depan pintu dia melepas jilbabnya. Alasannya, karena ayahnya
memiliki penyakit jantung dan selama ini ayahnya sangat membenci Islam. Jadi
dia tidak ingin ayahnya kaget lalu memperparah sakitnya.
Perlu Anda ketahui, meskipun dia baru berjilbab saat awal
ramadhan kemarin, tapi dari pertama aku bertemu dengannya saat ramadhan,
kerudungnya menjuntai hingga selutut, dan dia menggunakan rok lebar berwarna
gelap. Simpel dan polos. Inilah yang membuatku penasaran. Aku bertanya darimana
dia mengetahui tentang jilbab hingga memutuskan berjilbab seperti ini. Padahal
menurut pengakuannya, sebelum masuk Islam dia senang menggunakan pakaian minim
dan sexy. Dia menjawab, mengetahuinya dari internet. Rasa penasarannya terhadap
Islam sangat kuat hingga dia mencari apa-apa dari internet karena memang dia
tidak tahu ke mana dia harus bertanya. Lalu apa yang membuatnya berani
berubah sedrastis ini? Dia menjawab: karena dia merenungi kematian. Dulu
sebagaimana remaja yang lahir dan tumbuh di negara macam Jerman pada umumnya,
dia tidak percaya Tuhan hingga dia mulai berpikir tentang kematian.
“Mengapa kamu
memilih Islam?”, tanyaku lagi
semakin penasaran. Lalu dia bercerita bahwa sejak sekolah setingkat SD dia
memiliki teman-teman muslim yang berkebangsaan Turki, karena bangsa Turki
adalah komunitas muslim yang mendominasi Jerman. Sayangnya, tidak ada satu pun
dari mereka hingga remaja yang menjalankan agamanya, tetapi orang tua mereka
terkadang ada yang masih menjalankannya, meskipun ala kadarnya. Saat berkunjung
ke rumah teman-temannya yang muslim dan melihat orang tua mereka masih
menjalankan syariat Islam, itulah yang membuat dia berpikir
bahwa begitulah seharusnya orang menjalani hidup. Lalu
entah bagaimana dia juga selalu merasa tenang setiap mendengar bacaan
Al-Qur’an. Dari rasa
penasarannya itu, tujuh tahun dia membaca-baca tentang Islam dari internet
hingga akhirnya dia memutuskan masuk Islam. “I
feel like I am addicted to Islam”, begitulah
pengakuannya.
Dia menunjukkan mobile phone-nya yang berisi list murotal Al-Qur’an. “Aku sudah mencoba mendengar semua
reciter yang ada di sini, tapi aku paling suka yang ini,” katanya. Dia senang mendengar bacaan Al-Qur’an sehingga pernah
aku menemuinya sedang mendengarkan murotal sambil jalan sebagaimana
remaja-remaja seusianya mendengarkan musik, meski dia tidak mengetahui sedikit
pun artinya. Jawabannya selalu sama, “I feel like I am addicted.”
Lalu beberapa waktu yang lalu tiba-tiba dia berkata padaku, “Aku
akan segera menceritakan ke ayahku bahwa aku adalah muslim. Aku benar-benar
ingin segera,” katanya. “Kenapa?”tanyaku penasaran
karena baru beberapa hari yang lalu dia bercerita dia akan memberitahukan ke
ayahnya pelan-pelan saja karena khawatir penyakit ayahnya semakin parah.
Jawabannya itu yg akhirnya benar-benar membuatku merinding.
“Aku sangat
menyayangi ayahku dan aku mendengar ayahku berwasiat jika dia meninggal dia
ingin dibakar, dan aku tidak ingin itu. Aku harus membawakannya banyak
buku-buku Islam dan aku akan memintanya mendengarkan Al-Qur’an agar dia masuk
Islam dan aku menginginkannya segera, agar jika dia meninggal dia telah menjadi
muslim dan dia tidak menginginkan dibakar lagi.”
Lalu dia melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku
juga harus segera menulis surat wasiat. Usia manusia tidak ada yang tahu. Jika
nanti meninggal, aku tidak ingin orang tuaku memakamkanku dengan prosesi
pemakaman bukan Islam. Orang tuaku harus segera tahu bahwa aku muslim dan aku
akan membuat wasiat dimakamkan harus secara muslim. Aku juga harus mulai
menabung karena biayanya sangat besar, jika orang tuaku tidak setuju mereka
tetap harus melaksanakan wasiatku karena prosesi itu semua akan menggunakan
uang tabunganku sendiri, bukan uang mereka.”
Sebelumnya perlu saya sampaikan, bahwa dia ini muallaf, masih
SMU, baru berjilbab awal ramadhan kemarin, dan dia dalam kondisi sehat wal
afiat saat ini dan
insya Allah tidak sedang sakit apa pun. Tapi itulah sedikit dari penuturannya
yg membuatku terkesan.
Beberapa Faidah dari Kisah di Atas
Membaca cerita di atas, setidaknya ada beberapa faidah yang bisa
kita ambil.
1- Keimanan terhadap hari akhir,
pembeda seorang muslim dengan orang kafir
Di antara pokok keimanan yang membedakan seorang muslim dengan
orang kafir adalah keimanan terhadap hari akhir. Keimanan terhadap hari akhir
meliputi keimanan terhadap fitnah qubur, hari kiamat, hari kebangkitan, surga
dan neraka. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ السَّاعَةَ لَآَتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya
hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya. Akan tetapi
kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Al-Mu’min
[40]: 59)
Dari kisah di atas, sangat jelas terlihat bagaimana gambaran
kehidupan seorang kafir yang tidak percaya terhadap adanya kehidupan setelah
kematian. Mereka menganggap bahwa kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan
di dunia semata, dan setelah itu mereka mati dan selesailah segala urusan,
tidak ada pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
kehidupan mereka hanya diisi dengan sibuk mengejar dunia dan segala kesenangan
di dalamnya. Sebagaimana yang kami lihat sendiri, mayoritas hari-harinya diisi
dengan bekerja dari pagi sampai malam; ketika akhir pekan tiba, saatnya untuk
pesta sampai pagi, tidur panjang di siang harinya, atau rekreasi ke berbagai
negara dan lain sebagainya.
2- Islam dan As-Sunnah,
kenikmatan yang hakiki
Namun jangan dikira bahwa kehidupan seperti itu adalah kehidupan
yang menyenangkan. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan monoton, yang kosong
tanpa isi. Oleh karena itu, seseorang masih berada dalam fitrahnya seperti
gadis Jerman di atas, dia akan mudah melihat dan merasakan bahwa kehidupan
seorang muslim yang hari-harinya diisi dengan beribadah kepada Allah Ta’ala, berdzikir dan membaca Al Qur’an, itulah kehidupan yang
sebenarnya. Kehidupan seperti inilah yang merupakan kenikmatan yang
membahagiakan hati dan menentramkan jiwa-jiwa manusia.
Nikmat berjalan di atas Islam dan As-Sunnah inilah nikmat yang
hakiki dan kita diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk terus mencarinya. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullahberkata,”Nikmat itu ada dua, nikmat muthlaqoh (mutlak) dan
muqoyyadah (nisbi/relatif). Nikmat muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan
kepada kebahagiaan yang abadi, yaitunikmat Islam dan Sunnah. Nikmat inilah yang
diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk memintanya dalam doa kita agar Allah
menunjukkan kepada kita jalan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat itu
padanya”. (Ijtima’ Al-Juyuus
Al-Islamiyyah, hal 5)
Kenikmatan ini hanya Allah Ta’ala berikan khusus kepada hamba-hambaNya yang dicintai-Nya. Dengan
nikmat inilah kita dapat meraih surga beserta segala kemewahan di dalamnya.
Oleh karena itu, ketika shalat kita selalu berdoa,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
”Tunjukilah kami
jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah
[1]: 6-7)
Inilah nikmat yang hendaknya membuat hati kita bergembira dan
berbahagia, melebihi berbagai nikmat duniawi yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah,
‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.Karunia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]: 58)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan“karunia Allah” dalam ayat di atas adalah Al Qur’an, yang merupakan nikmat dan
karunia Allah yang paling besar serta keutamaan yang Allah berikan kepada
hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya” adalah agama dan keimanan. Dan keduanya itu lebih baik dari apa
yang kita kumpulkan berupa perhiasan dunia dan kenikmatannya. (Lihat Taisiir
Karimir Rahmaan, hal. 367)
Adapun nikmat berupa berupa harta dan kesenangan duniawi, maka
inilah yang sifatnya nisbi(nikmat
muqayyadah). Karena nikmat
semacam ini juga Allah Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya yang kafir. Bisa jadi mereka
lebih banyak hartanya dibandingkan kita. Mungkin pula kenikmatan berupa harta
ini adalah bentuk istidroj (tipuan) dari Allah Ta’alasehingga manusia
semakin tersesat dan semakin menjauh dari jalan-Nya yang lurus. Atau bisa jadi
merupakan bentuk ujian dari Allah kepada manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ …
“Jika Allah
memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat
yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidroj …” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (IV/145) no. 17349. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah
Ash-Shahihah no. 413).
Marilah kita merenungkan firman Allah Ta’ala,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka ketika
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44)
3- Nasihat terbaik itu adalah
kematian
Sesuatu yang mencengangkan hati kita membaca kisah di atas bahwa
mengingat kematian adalah faktor pendorong sampainya hidayah kepada gadis
tersebut. “Kematian”, inilah penghancur kenikmatan yang mungkin susah payah
kita raih selama hidup di dunia. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus
kelezatan.” (HR. An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits
ini dinilai hasan shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Yang dimaksud dengan “pemutus kelezatan” dalam hadits di atas adalah kematian. Kematian disebut “haadzim” (pemutus)
karena menjadi sebab pemutus kelezatan dunia.
Betapa banyak di antara kita yang sering mengantar jenazah
sampai ke pekuburan, namun hal itu tidak mampu menjadi nasihat untuk
memperbaiki diri kita? Ya Allah, lindungilah kami dari jiwa-jiwa yang mati dan
tidak bisa menerima nasihat! Kematian inilah yang seharusnya mengerem kita agar
tidak tertipu dan terbuai dengan kehidupan dunia sebagaimana kisah di atas.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه
”Perbanyaklah mengingat pemutus
kelezatan (yaitu kematian), karena jika seseorang mengingatnya saat
kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang. Dan jika seseorang
mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia
(sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi.
Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
4- Tidak mungkin berkumpul dalam
satu jiwa: kecintaan terhadap musik dan kecintaan terhadap Al-Qur’an
Faidah berikutnya dari kisah di atas adalah bahwa kecintaan
seseorang terhadap Al-Qur’an akan menyingkirkan kecintaan terhadap musik dan
nyanyian. Sebaliknya, kecintaan seseorang terhadap musik dan nyanyian akan menyingkirkan
kecintaan terhadap Al-Qur’an. Tidak mungkin kecintaan terhadap keduanya
berkumpul dalam satu jiwa yang sama. Ketika hati gadis Jerman di atas mulai
mencintai Al-Qur’an, maka hal itu mendorongnya untuk meninggalkan musik dan
nyanyian. Berbeda dengan kebanyakan gadis ABG yang kita lihat, saking cintanya
mereka terhadap musik dan nyanyian, sampai-sampai hapal puluhan nyanyian dengan
begitu mudahnya, namun mereka sulit untuk diajak menghapal Al-Qur’an. Maka
benarlah bahwa nyanyian merupakan salah satu cara setan untuk menjauhkan
manusia dari jalan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak bergunauntuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan.” (QS. Luqman [31]:
6)
Tentang maksud dari firman Allah Ta’ala
“perkataan yang tidak berguna” dalam ayat di
atas, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,”Demi
Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia semata, (yang
dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’) adalah nyanyian”. Beliau mengulangi sumpahnya tersebut sampai tiga kali. Demikian
pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid,
Ma’khul, Amr bin Syu’aib, dan Ali bin Badzimah radhiyallahu
‘anhum. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 6/330-331)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada pendidik anak-anaknya. Beliau rahimahullah berkata, ”Hendaklah yang mereka ketahui
pertama kali dari pengajaranmu adalah rasa benci terhadap alat-alat musik.
Karena hal itu berawal dari setan dan mendatangkan kebencian dari Ar-Rahman.
Sungguh telah sampai kepadaku dari orang-orang terpercaya yang berilmu, bahwa
menghadiri tempat musik dan mendengarkan nyanyian akan menumbuhkan sifat
kemunafikan di dalam dada sebagaimana air menumbuhkan rerumputan”. (Ighatsatul
Lahfan, 1/250)
5- Dakwah kepada orang tua dan
keluarga terdekat
Nasihat penting dari kisah di atas adalah hendaknya kita tidak
melupakan dakwah kepada orang tua kita. Mungkin di antara kita ada yang begitu
bersemangat untuk berdakwah kepada teman atau masyarakat luas pada umumnya,
namun justru merupakan orang tuanya sendiri. Kita biarkan orang tua kita masih
tenggelam dalam kebodohan terhadap ilmu agama, terjerumus dalam berbagai macam
kemusyrikan atau kebid’ahan. Padahal, bagaimana mungkin kita melupakan dakwah
kepada orang tua, sedangkan Allah Ta’ala memerintahkan,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 214)
Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis
salaam, beliau berdakwah
kepada bapaknya sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al-Qur’an,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45)
“Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya
dia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi. Ingatlah ketika
dia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu
yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit
pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan
yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan.
Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku,
sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha
pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan”. (QS. Maryam [19]: 41-45)
Begitu pula dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau berdakwah
kepada paman-pamannya. Di antaranya, ketika pamannya Abu Thalib hendak
meninggal dunia, Rasulullah mendatanginya untuk mendakwahinya agar masuk Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya,
يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku!
Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai
hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, kisah di atas menjadi nasihat berharga agar
kita tidak melupakan dakwah kepada orang tua dan keluarga kita yang lainnya.
Demikianlah beberapa faidah yang dapat kami kumpulkan dari kisah
di atas. Semoga AllahTa’ala melembutkan hati kita untuk mudah menerima nasihat dan kebenaran
dari siapa pun orangnya.
Selesai ditulis di Rotterdam, Belanda, 24 Dzulhijjah 1434
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc
0 Response to "Kisah Makam Seukuran Keramik Dan Seorang Gadis ABG Mualaf Di Jerman"