Wahai pemuda Islam, ingatlah bahwa Rabb Anda
telah mewajibkan Anda menuntut ilmu agama Islam, sekadar bekal Anda dalam
melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah
Di antara Kelalaian Pemuda
Zaman Ini
1. Kurang perhatian terhadap
Kitabullah
Wahai
pemuda Islam, camkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini:
إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما،
ويضع به آخرين
“Sesungguhnya
Allah meninggikan derajat suatu kaum dengan sebab berpegang teguh terhadap
Kitab ini (Al-Qur’an) dan merendahkan kaum lainnya dengan sebab menelantarkan
Kitab ini” (HR. Imam Muslim).
Nah,
tentulah sosok pemuda Islam yang hebat, memilih menjadi sosok hamba Allah yang
ditinggikan derajatnya oleh-Nya! Ia tidak ingin menjadi generasi yang lemah dan
hina. Ketinggian derajat pemuda Islam itu diraih dengan berpegang teguh
terhadap Al-Qur’an.
Ketahuilah,
bahwa seorang hamba dikatakan berpegang teguh dengan Al-Qur’an, ketika ia
merealisasikan tujuan Al-Qur’an diturunkan. Jika Anda bertanya apakah tujuan
Al-Quran diturunkan, simaklah jawaban berikut ini.
Syaikh
Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فالقرآن
الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به
“Al-Qur’an
diturunkan untuk tiga tujuan: beribadah dengan membacanya, memahami makna, dan
mengamalkannya” (Ushul fit -Tafsir)
Allah Ta’ala berfirman
tentang Al-Qur’anul
Karim,
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ
صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“(Ini
adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu)
menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS.
Ibrahim:1).
Syaikh
Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,
“Allah Ta`ala mengabarkan
bahwa Dia telah menurunkan kitab-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallamuntuk menyampaikan
manfaat kepada makhluk, mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan,
kekufuran, akhlak yang buruk dan berbagai macam kemaksiatan kepada cahaya ilmu,
iman, dan akhlak yang baik.
Firman
Allah yang artinya “dengan izin Tuhan mereka”, maksudnya adalah mereka tidak
mampu meraih tujuan yang dicintai oleh Allah melainkan dengan kehendak dan
pertolongan dari Allah. Di sini terdapat dorongan bagi hamba untuk memohon
pertolongan kepada Tuhan mereka. Allah juga menjelaskan tentang cahaya yang
ditunjukkan kepada mereka dalam Al-Qur’an, dengan berfirman yang artinya “(yaitu)
menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”, maksudnya
adalah yang mengantarkan kepada-Nya dan kepada tempat yang dimuliakan-Nya yang
mencakup atas ilmu yang benar dan pengamalannya. Penyebutan firman Allah yang
artinya “Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” setelah penyebutan jalan yang mengantarkan
kepada-Nya mengisyaratkan bahwa orang yang meniti jalan tersebut adalah orang
yang mulia dengan pengaruh kemuliaan Allah. Iapun kuat, meski hanya Allah yang
menjadi penolongnya. Urusan-urusan orang tersebut terpuji lagi memperoleh
dampak yang baik” (Tafsir As-Sa’di, hal. 478).
Dari
penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa barangsiapa yang ingin keluar dari
dosa-dosa, ingin keluar dari kekurangan dan kelemahannya, akhlak buruk,
ideologi sesat dan tingkah laku yang menyimpang, ingin terlepas dari kehinaan,
maka perbanyaklah mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya. Akrablah
dengannya dalam keseharian. Sebaliknya, jika seorang pemuda jauh dari
Al-Qur’an, jarang membacanya, sedikit memahami kandungannya, banyak
menelantarkannya, maka akan menemui kehinaan, dan kerendahan di dunia dan
akhirat.
2. Banyak meninggalkan kewajiban
menuntut ilmu agama Islam
Wahai
pemuda Islam, ingatlah bahwa Rabb Anda telah mewajibkan Anda menuntut ilmuagama Islam,
sekadar bekal Anda dalam melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu itu wajib bagi
setiap muslim” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini dihasankan oleh As-Suyuthi,
Adz-Dzahabi dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dari
hadits yang agung di atas, ulama menjelaskan tentang adanya jenis ilmu yang
hukum mempelajarinya fardhu
‘ain (wajib mutlak).
Ciri khas ilmu fardhu ‘ain itu adalah :
Jika
seorang hamba tidak mengetahui ilmu fardhu
‘ain, maka ia tidak bisa
menunaikan kewajiban. Hal ini mengakibatkannya jatuh dalam dosa. Dengan kata
lain, jika seseorang tidak mempelajari ilmu fardhu
‘ain, akan terjatuh kedalam dua
kemungkinan:
- Tidak bisa
melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamyang
wajib dilaksanakan sehingga berdosa.
- Melakukan
larangan Allah dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang wajib ditinggalkan (yang
haram dilakukan), sehingga terjatuh kedalam dosa.
Oleh
karena itu, Imam Ahmad rahimahullah pernah
menjelaskan tentang hal itu,
يجب
أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه، قيل له مثل أي شيء؟ قال: الذي لا يسعه جهله:
صلاته و صيامه، و نحو ذلك
“Menuntut
ilmu yang menjadi landasan tegaknya agama adalah wajib. Beliau ditanya,
‘Contohnya apa?’ Beliau menjawab, ‘Ilmu yang harus diketahuinya adalah tentang
sholat dan puasa, serta yang semisal itu.’”
Imam
Malik rahimahullah ketika
ditanya tentang menuntut ilmu syar’i, beliau menjawab,
كله
خير و لكن انظر إلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه
“Semuanya baik, akan
tetapi lihatlah kepada ilmu yang engkau butuhkan sehari semalam, maka carilah
ilmu tersebut”
Ketika
pemuda Islam disibukkan dengan ilmu yang dibutuhkan dalam keseharian mereka,
berupa ilmu tentang iman dan tauhid (keyakinan yang benar), serta ibadah (amal
yang sah), maka biidznillah, kejayaan umat Islam akan menyertai kaum
muslimin. Namun sebaliknya, ketika para pemuda disibukkan dengan pengetahuan
yang sia-sia, bahkan pengetahuan yang membahayakan mereka, apalagi ketika
mereka jauh dari agama Islam, maka tunggulah kehancuran umat ini.
3. Melalaikan Hati
Pemuda
Islam yang benar-benar ingin berjumpa dengan Allah, tentunya sangat
memperhatikan kondisi hatinya. Karena ia paham bahwa bekal untuk berjumpa
dengan Allah adalah qolbun
salim (hati yang bersih), sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman
:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا
بَنُونَ
(88)
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki
tidak berguna,”
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ
بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
(89)
“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan
hati yang bersih”
(Asy-Syu’araa`: 88-89).
Hati
yang bersih itu maksudnya adalah bersih dari paham rancu dan penyakit syahwat,
bentuknya bisa berupa kesyirikan, kebid’ahan,
dan berbagai macam kemaksiatan. Hanya saja yang kerap menjadi problem banyak
dari pemuda Islam, ketika terjangkiti sebagian penyakit tersebut, mereka tidak
mengetahui terapi penyakitnya yang benar atau telah menjalani terapi yang
benar, namun tidak lengkap atau mengetahui terapi yang lengkap, namun tidak sabarmenjalaninya.
Bagaimana terapi yang benar dan lengkap? Berikut ini ulasannya.
Tiga kaedah besar terapi penyakit
Berdasarkan
pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim
menyebutkan bahwa terapi untuk pengobatan penyakit hati tersimpul dalam tiga
macam cara pengobatan. Beliau menyebutnya dengan“madaarush shihhah” (ruang
lingkup pengobatan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh
para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara pengobatantersebut
adalah:
1). Hifzhul
quwwah (memelihara
kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan
amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al-Qur`an dengan
menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang
bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.
2). Al
Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain dan
sarana dosa), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa,
maksiat dan jalan serta sarana penghantar kemaksiatan, karena
perbuatan-perbutan tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit
hati, atau melemahkan kekuatan iman dalam hati.
3). Istifragul
mawaaddil faasidah (membersihkan noda-noda hitam dalam
hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah
dilakukan), yaitu dengan caraberistigfar dan
bertaubat dengan taubat yang tulus kepada Allah .
Tentu
saja selama proses pengobatan penyakit hati ini, seorang muslim membutuhkan
kesungguhan dan usaha keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar
bisa melaksanakan cara-cara pengobatan di atas, artinya, sebelum dia mencapai
kesempurnaan iman, yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan
iman, di awal perjalanannya menempuh jalan Allah ini, dia mesti merasakan
kepahitan dan kesusahan terlebih dahulu dalam proses penngobatan penyakit
hati/imannya. Dia harus berusaha keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh
untuk mengamalkan terapi tersebut agar proses terapi penyakit hati itu
berlangsung dengan baik dan sempurna, sebagaimana orang sakit yang tidak bisa
merasakan nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia
harus berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan
getir secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga
kondisinya meskipun makanan tersebut terasa pahit di lidahnya dan susah
ditelan. Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
حجبت الجنّة بالمكاره و حجبت النار
بالشهوات
“Jannah
(Surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan perkara-perkara yang susah dan tidak
disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan
perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat manusia” (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari
Abu Hurairah).
Yang
perlu diingat dan dicamkan di sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah
dirasakan di awal menempuh jalan mencapai ridha Allah, yaitu selama proses
pengobatan penyakit hati berlangsung, karena hal ini memang Allah jadikan untuk
menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba dalam berjuang menundukkan hawa
nafsunya di jalan-Nya. Maka setelah terbukti kesungguhan dan kesabaran hamba
tersebut, barulah kemudian Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada hamba
tersebut, dengan menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan
dan kemanisan iman kepadanya.
Perlu
diketahui, wahai pemuda Islam, bahwa hidayah yang Allah berikan itu
tergantung dari besar-kecilnya kesabaran dan kesungguhan seorang hamba dalam
menempuh jalan Allah ini. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu)
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada
mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik”
(QS. Al ‘Ankabuut: 69).
Imam
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika menjelaskan ayat di atas berkata: “(Dalam
ayat ini) Allah menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan
kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah
(dari Allah ) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya.”
Studi Kasus
Dari
penjelasan di atas, mari kita ambil suatu kasus untuk kita pelajari bagaimana
terapinya. Misalnya, pemuda yang memiliki penyakit hati atau dosa suka tawuran
masal secara zhalim, maka tentu tidak cukup lengkap jika terapinya hanya
sekedar dinasehati untuk meninggalkan tawuran saja, sementara tidak disertai
proses terapi yang lain. Karena itu baru sebagian dari jenis terapi yang
ketiga, yaitu Istifragul mawaaddil faasidah (membersihkan
noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan
maksiat yang pernah dilakukan).
Oleh
karena itu perlu dilakukan terapi yang pertama, Hifzhul
quwwah (memelihara
kekuatan dan kondisi hati). Dalam hal ini, misalnya mengetahui tentang Tauhid
dan mengamalkannya, mengisi waktu luang dengan menghadiri majelis ta’lim, menjaga shalat lima waktu, dan bergaul dengan
teman-teman yang shalih.
Serta
melakukan terapi kedua, Al
Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain dan
sarana dosa), misalnya: meninggalkan teman-teman yang jelek, tempat-tempat
berkumpul mereka, aktifitas yang sia-sia bersama mereka dan menjaga diri dari
melakukan kemaksiatan yang lainnya.
Baca Juga Artikel : Kemana Masa Mudaku Melangkah - Part 7
Baca Juga Artikel : Kemana Masa Mudaku Melangkah - Part 7
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber: Muslim.or.id
0 Response to "Kemana Masa Mudaku Melangkah - Part 8"